AXIALNEWS.id | Meski pagi-pagi di Medan selalu diselimuti hujan, semangat 40 peserta Sekolah Jurnalisme Indonesia (SJI) Sumatera Utara tak pernah meredup.
Sekolah ini bukan sekadar pelatihan singkat, melainkan sebuah laboratorium intensif bagi mereka yang ingin menyelami dunia jurnalistik dengan lebih mendalam.
Diadakan untuk pertama kalinya di Sumatera Utara, SJI berhasil mencetak lulusan yang siap membawa standar baru bagi media di era digital ini.
Pada hari pembukaan, suasana Ballroom Grand Inna Medan dipenuhi antusiasme para peserta. Pj Gubernur Sumatera Utara, Agus Fatoni, hadir dan membuka kegiatan dengan penuh optimisme.
Dalam pidatonya, ia menekankan pentingnya wartawan untuk terus belajar dan meningkatkan kapasitas diri.
“Profesi wartawan menuntut pembelajaran seumur hidup. Wartawan harus bersinergi dengan pemerintah, tidak hanya sebagai sosial kontrol yang mengkritik, tetapi juga menyampaikan berita positif demi menjaga kondusivitas masyarakat,” ujar Agus Fatoni.
Pernyataan ini menyiratkan pesan bahwa kemitraan antara media dan pemerintah sangat penting dalam membangun bangsa yang lebih baik.
Setelah semangat dari Gubernur Sumut, giliran Hendry Ch Bangun, Ketua PWI Pusat, yang menyampaikan materi tentang “Pers Berwawasan Kebangsaan.”
Namun, suasana kelas sempat terhenti ketika ia melontarkan pertanyaan tentang makna kebangsaan. Tanpa jawaban yang memadai, Hendry mengomentari bahwa wawasan kebangsaan peserta masih harus diperkuat.
Hendry tidak tinggal diam dan segera menghidupkan suasana kembali dengan mengingatkan bahwa wartawan harus terus membaca dan memahami sejarah.
“Kalau wartawan sampai termakan isu yang salah, apalagi jika terkait perang agama seperti di Palestina, itu benar-benar wartawan bodoh,” ujarnya dengan nada keras yang menyadarkan para peserta. Ia menekankan, kekuatan seorang wartawan adalah pada konfirmasi dan keberimbangan berita.
Sesi selanjutnya dibawakan oleh Ahmed Kurnia Soeriawidjaja, Direktur SJI, yang mengupas pentingnya integritas dalam profesi wartawan.
Menurutnya, integritas adalah pilar utama seorang wartawan, terutama di era teknologi seperti saat ini, di mana kecerdasan buatan (AI) mulai menjadi pesaing baru dalam dunia jurnalisme.
“Wartawan harus bisa bersaing dengan AI dengan tetap mempertahankan integritas dalam setiap karya jurnalistiknya,” tegas Ahmed.
Ia mencontohkan bagaimana berita kritikan bisa disampaikan tanpa menyinggung, sebuah tantangan bagi wartawan untuk tetap bijak dalam menggunakan kata-kata.
Tidak kalah menarik, Dedi Sahputra, Wakil Rektor UMA, mengaitkan profesi menulis dengan umur panjang. Menurutnya, tulisan yang bermanfaat bisa terus hidup meski penulisnya sudah tiada.
Ia menyinggung filosofi Benyamin Samuel Bloom tentang taksonomi berpikir, yang mengajarkan pentingnya mengasah kemampuan berpikir kritis dan kreatif, dua aspek penting dalam dunia jurnalistik.
Hari kedua dan ketiga berlangsung dalam suasana dingin akibat hujan yang terus mengguyur, namun kelas tetap berjalan penuh semangat.
Khairul Jasmi, atau yang akrab disapa Pak KJ, membawa materi tentang bahasa Indonesia dalam jurnalistik.
Tegas dan tanpa kompromi, ia menyoroti masalah plagiarisme dalam dunia wartawan. “Kalau copy paste, Anda sudah berhenti jadi wartawan!” ucapnya, yang sukses membuat suasana kelas kaku sejenak.
Materi lainnya datang dari Sugiatmo, Kepala SJI, yang membahas tentang teknik wawancara. Ia mengingatkan bahwa wawancara wartawan berbeda dengan wawancara penyidik polisi.
Wartawan menggali informasi, bukan mengorek kasus, sebuah perbedaan mendasar namun sering terabaikan.
Kemudian, Raditiyo Wicaksono melanjutkan dengan topik yang sangat relevan bagi jurnalis masa kini, yaitu jurnalisme multitasking.
Ia menekankan pentingnya kemampuan beradaptasi dengan teknologi, termasuk memanfaatkan AI dan tools digital lainnya untuk mempermudah pekerjaan jurnalistik.
Sesi berikutnya, Adek Media Roza membawa peserta ke dunia jurnalisme data dan visualisasi. Di era yang penuh dengan data, kemampuan untuk mengubah angka menjadi narasi menarik menjadi sangat penting.
Alex Subhan menambahkan dengan tips praktis tentang fotografi, termasuk trik memaksimalkan kamera handphone untuk keperluan jurnalistik.
Tak ketinggalan, Dr Aqua Dwipayana, penulis buku terkenal “The Power of Silaturahim”, mengingatkan pentingnya jaringan dalam membangun karier jurnalistik yang solid.
Di era AI, etika dalam pemanfaatannya juga menjadi sorotan besar. Damar Juniarto, yang tiba langsung dari bandara, menekankan pentingnya menjaga etika agar AI tidak menjadi alat yang merusak kredibilitas berita.
Meski hujan tak kunjung reda, para peserta tetap bersemangat hingga hari terakhir. Dr Suprapto menyampaikan materi tentang cara mengembangkan berita, terutama dalam bidang investigasi. Baginya, konfirmasi adalah kunci agar berita tetap akurat dan berimbang.
Setelah melalui perjalanan intensif selama 4 hari, para peserta SJI Sumatera Utara ini siap mengemban tanggung jawab besar sebagai wartawan.
Mencetak generasi baru jurnalis yang tidak hanya berpengetahuan luas, tetapi juga berintegritas. Di tengah deru hujan yang menemani, semangat mereka tetap tak tergoyahkan.(*)