Meraut Ulang Pena Tumpul Jurnalis di Era Kontemporer

Wartawati Sumut, Siti Amelia dari Harian Mimbar Umum.
Iklan Pemilu

AXIALNEWS.id | “Wartawan saat ini malas!”

Empat kata dari Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Hendry Ch Bangun, membuat 40 wartawan peserta Sekolah Jurnalisme Indonesia (SJI) yang
mengikuti kelas di Hotel Grand Inna Medan, Senin (23/9/2024) terdiam seribu bahasa.

Masing-masing peserta yang kompak dengan kemeja putihnya nampak berkutat dengan pikiran masing-masing.

Seperti memikirkan serius akan perkataan sang penulis buku ‘Meliput dan Menulis Olahraga’ ini.

Awal pembelajaran, partisipan pun tampak tegang mengikuti mata ajar Wawasan Kebangsaan dalam Jurnalistik yang disampaikan Wakil Ketua Dewan Pers Periode 2019-2022 ini.

Tapi ketegangan yang timbul tidak berlangsung lama. Jurnalis lintas generasi yang mengikuti kegiatan, langsung larut dalam cerita jurnalistik di era komtemporer yang dipaparkan jurnalis yang pernah bekerja di Harian Kompas ini.

Dalam paparannya, Hendry memberikan contoh sikap pers Indonesia akan politik luar negeri.

Bagaimana sikap pers Indonesia akan tragedi Gaza, yang selalu mendukung kemerdekaan Palestina, sebab Indonesia anti penjajahan.

Dia juga memaparkan masalah gugatan Uni Eropa atas ekspor kelapa sawit yang mempengaruhi devisa Indonesia.

‘Meledaknya’ wisata baru Labuhan Bajo yang dikontraskan dengan terusiknya binatang langka Komodo, menjadi satu contoh sikap pers akan situasi dalam negeri yang dipaparkannya.

“Untuk memberitakan kasus-kasus seperti ini, perlu wawasan, pengetahuan, dan keterampilan dalam memproduksi karya jurnalistik. Ini menjadi salah satu tujuan dari diadakannya Sekolah Jurnalisme Indonesia,” terang pria yang sudah bergelut di dunia jurnalistik sejak 1982 ini.

Namun, sambung dia, pada masa informasi saat warga sering dimanipulasi oleh algoritma dan mesin, perlu sikap kritis dari wartawan.

Sikap kritis wartawan, menurut Hendry, jarang dia temukannya di era kontemporer ini.

“Wartawan sekarang ini sering terjebak dalam narasi seperti pamflet,” tuturnya.

Narasi seperti pamflet yang Hendry sampaikan merujuk pada berita-berita informasi dari rilis-rilis yang wartawan dapatkan. Berita sama, tanpa ada pendalaman.

Untuk itu, pria berkacamata ini menuntut wartawan untuk terus meraut ulang pena (simbolis, kekuatan kata-kata, kejujuran dan tanggungjawab dalam menyampaikan berita).

Jurnalis harus mengasah kemampuan dengan pembaruan pengetahuan.

“Intinya, wartawan harus rajin membaca,” ucapnya menutup mata ajar dalam SJI yang mengangkat tema ‘Berintegritas, Berpikir Kritis, Multitasking dan Berwawasan Kebangsaan’ ini.

Hadirnya SJI di Medan sejak Senin (25/9/2024) hingga Jumat (26/9/2024) memang tampak seperti ajang asah pena juru warta di Sumut.

Pengalaman menjadi pewarta lebih dari 10 tahun mendominasi peserta SJI. Bahkan, sudah ada yang menggeluti profesi wartawan hingga 20 tahun, senior sudah.

Tak perlulah disebutkan namanya. Raut wajah yang mulai berkeriput, menjadi tanda, bahwa usia juru warta sudah tidak muda lagi.

Meski begitu, semangat mengikuti kelas tak main-main. Tanpa keluhan, tak malu bertanya akan kekurangan masing-masing.

Semangat juga tampak saat jurnalis datang pagi dan tepat waktu, langsung duduk di kursi berlapis kain putih yang sama setiap harinya.

Baca Juga  Menyulam Kata di Bawah Awan, Kisah Sekolah Jurnalisme Pertama di Sumut

Juru warta ini pun harus bangun lebih pagi selama 5 hari untuk mengikuti pelajaran dari pengajar-pengajar yang usianya tak jauh beda.

Ruang Ballroom Inna 1 disudut kanan hotel Grand Inna menjadi akrab dengan para juru warta. Seperti kembali ke bangku sekolah, semuanya duduk dengan tertib menunggu para pengajar.

Bahkan saat pembukaan, para pewarta duduk tertib di depan laptop masing-masing mendengarkan paparan dari Penjabat (Pj Gubernur) Sumut A Fatoni.

“’Cara berpikir, bertindak dan bekerja, jangan biasa-biasa aja, kreatif dan inovatiflah. Marilah menjadi pribadi unggul dari hari ke hari,” kata Fatoni menyemangati wartawan kala menjadi pematik acara.

Walaupun sudah dicekoki oleh materi terbaik dari dua orang hebat, Ketua PWI Pusat dan Pj Gubernur Sumut, para wartawan tampak mampu mengikuti ritme mata ajar Integritas oleh Ahmed Kurnia Soeriawidjaja.

Ahmed Kurnia mengungkapkan integritas adalah esensi wartawan. Karenanya, suka tidak suka wartawan harus menempatkan posisi sebagai guru bangsa.

“Wartawan harus menjadi guru untuk memberikan informasi yang terverifikasi, objektif dan akurat,” jelas Direktur SJI ini.

Berpengalaman 43 tahun menjadi pewarta, Ahmed Kurnia yakin wartawan, khususnya peserta SJI mampu lebih kreatif demi mempertahankan integritas diri.

Bersahabat dengan teknologi kecerdasan buatan atau dikenal AI, menurut dia, bisa membuat pewarta mampu menghadapi tantangan dalam menjaga integritas.

Sementara, materi Filosofi Profesi Wartawan oleh Assoc Prof Dr Dedi Saputra, Wakil Rektor Bidang Mutu Sumber Daya Manusia, Universitas Medan Area (UMA), menutup sesi hari pertama SJI.

Melalui paparannya, Dedi memotivasi peserta untuk berpikir kritis dan skeptis.

Pada hari kedua, ketegangan yang tampak menghiasi wajah para peserta SJI di hari pertama tampak hilang.

Semua peserta sudah mulai bisa mengatasi rasa canggung. Malahan, beberapa juru warta tak malu lagi minta foto bersama pengajar.

Apalagi pengajar di hari kedua merupakan idola beberapa partisipan. Adalah Khairul Jasmi, Wakil Ketua Forum Pemred Indonesia yang juga merupakan Komisaris PT Semen Padang.

Memaparkan materi dengan dialek Padang, tak membuat mata ajar Bahasa Indonesia dalam Jurnalistik tak bermakna.

Khairul Jasmi mampu membius para juru warta yang hadir untuk mendengarkan serius paparannya.

Pemimpin Redaksi Harian Singgalang ini, bahkan langsung menyergap wartawan dengan gambar untuk membuat berita.

“Pilih salah satu gambar, buatlah tulisan sesuka hati,” ucapnya yang langsung dikerjakan peserta dengan serius.

Akhirnya, berbagai sudut pandang tulisan dihasilkan. Menurut tokoh serba bisa ini, membuat tulisan dari gambar adalah cara melatih menulis yang baik untuk meningkatkan kemampuan diri sendiri.

“Makanya, rajinlah menulis. Dengan rajin menulis akan terbentuk karakter tulisan sendiri,” tuturnya.

Tak kalah dari pengajar dari luar Medan, Kepala Sekolah SJI PWI Sumut, Sugiatmo pun mampu menghipnotis rekan seperjuangannya sesama wartawan untuk mendengar pelajaran lebih serius.

Memulai dengan bercerita tentang pengalaman pribadi, akademisi Universitas Islam Negeri Sumut (UINSU) dan Universitas Medan Area (UMA) ini menyegarkan kembali ingatan juru warta peserta SJI akan teknik wawancara.

Baca Juga  Tuan Guru Babussalam Do'akan HIMALA Bermanfaat untuk Umat

Pesan penting yang disampaikan pria yang akrab disapa Bang Atmo adalah melakukan wawancara harus hati-hati dengan sikap diri baik dan persiapan matang.

“Sebelum melakukan wawancara, seorang jurnalis menyadari bahwa dirinya seorang jurnalis, bukan interrogator,” ungkap Kapusinfo Kwarda Pramuka Sumut ini.

Katanya, seorang jurnalis harus membebaskan diri dari segala kepentingan di luar dari prinsip-prinsip jurnalisme.

Karena itu, penting untuk membebaskan diri dari egoisme pribadi, tidak emosional meski berbeda pendapat, ideologi dengan narasumber.

Peserta lagi-lagi dirayu untuk berpikir kritis oleh Mohammad Nasir.

Bendahara Umum PWI Pusat yang aktif sebagai anggota Kelompok Kerja Komisi Pendidikan, Pelatihan dan Pengembangan Profesi Pers, Dewan Pers ini mengajak juru tulis untuk berani berfikir kritis dan selalu skeptis.

“Cerewet adalah tanda kritis, hindari kata sifat yang membuat fakta jadi opini. Buatlah narasi tulisan yang menceritakan kejadian secara berurutan tapi mendebarkan,” pesannya.

Hari ketiga tak kalah seru, pewarta yang mengikuti SJI ditantang untuk menerapkan jurnalisme multitasking oleh pengajar Radityo Wicaksono.

“Di era multitasking, seorang jurnalis dituntut melakukan pekerjaan teknikal yang biasanya dilakukan rombongan circus. Jika tidak bisa melakukan itu, kita tidak bisa bersaing, manajemen perusahaan juga berpikir untuk mempekerjakan kita lagi,” ucap Produser Liputan 6 SCTV ini.

Rombongan circus menurut Raditya adalah sebutannya untuk rombongan wartawan televisi saat akan melakukan siaran langsung sebelum era kontemporer.

Di mana untuk meliput suatu peristiwa, profil atau kegiatan, lebih dari dua orang harus ikut serta, mulai dari videografer, ahli genset bahkan presenter.

Usai mendapatkan pencerahan akan dunia video, peserta ditantang menerapkan jurnalisme data dengan mendatangkan Adek Media Roza, peneliti dari Katadata Insight Center.

Dalam mata ajarnya, alumni jurusan Bahasa Arab, Universitas Indonesia ini berbagi pengetahuan cara mengolah narasi menjadi data, dengan menyederhanakan narasi.

Menurut pria yang mendapatkan gelar doktor dari University of Technology Sydney ini, karya jurnalistik berbasis data dapat meningkatkan kualitas produk media, sehingga mencerahkan dan mencerdaskan publik.

“Di era digital, data dan informasi ibarat air bah. Pola baca pun kini mulai berubah, di mana waktu kian berharga, bahkan untuk membaca sekalipun. Untuk itu jurnalisme data hadir,” ungkapnya.

Hari ketiga diakhiri dengan belajar fotografi dengan fotografer senior media cetak, Alex Subhan.

Dalam menyampaikan mata ajarnya, Alex Subhan bercerita melalui visual. Puluhan contoh foto dihadirkan demi memberikan penjelasan terbaik kepada para juru tulis terkait fotografi.

Termasuk menjelaskan kesalahan umum saat memotret. Bukan hanya contoh foto, Alex Subhan pun mepraktekkan langsung cara mengambil foto profil dan foto bersama para peserta SJI.

Foto yang dihasilkan, merupakan foto bersama pertama sekali partisipan pasca berlangsungnya SJI di Grand Inna Medan.

“Selain foto, teks foto sangat penting dalam pengiriman foto ke redaksi. Melalui teks, akan dijelaskan isi foto-foto dengan sudut pandang berbeda,” jelas dia.

Baca Juga  Kuliah Umum Pj Gubernur di SJI Perdana PWI Sumut

Dalam pemberitaan online, ungkapnya, mesin pencari juga akan memeriksa teks foto sesuai Search Engine Optomazion (SEO). Oleh sebab itu, penting sekali membuat teks foto.

Sehari jelang pelatihan berakhir, semangat peserta tak kunjung kendor. Mungkin karena kegiatan diawali dengan paparan motivator handal, Dr Aqua Dwipaya, peserta tampak semakin membara mengikuti pengembangan ilmu.

Dalam paparannya, lelaki kelahiran Pematang Siantar, 23 Januari 1970 ini, menyampaikan materi Membangun Jaringan Kerja Wartawan yang Berintegritas.

Materi ajar yang cukup dinantikan sebagian besar pewarta yang ikut.

“Era sekarang ini, menjaga jejaring ini cukup sulit. Jadi aku sangat menantinya langkah-langkah yang akan dibagi,” ucap wartawan Thamrin yang merupakan wartawan media online, delitimes.id

Harapan pria berkacamata ini pun terjawab. Aqua menyampaikan beberapa poin langkah-langkah menjaga jejaring.

Antara lain jangan jadi wartawan hit and run, atau sudah bertanya setelah itu tidak ada menjalin hubungan lagi dengan narasumber.

Untuk sukses menjadi wartawan, ucap dia, selalu menjaga, memelihara, mengembangkan, dan meningkatkan silaturahim tanpa pamrih dengan semua pihak.

“Lakukanlah itu secara konsisten. Wartawan juga harus punya harga diri, punya integritas. Harus bisa katakan tidak, dan jangan goyang (keyakinan),” tukasnya.

Pada hari keempat ini, para juru warta kembali dicecoki dengan ilmu kecerdasan buatan.

Wakil Ketua Departemen Multimedia PWI Pusat, Merdi Sofansyah bersama Damar Juniarto, Akademisi UPN Veteran Jakarta yang Jadi Panelis Debat Capres Ke-5, memberikan tips-tips aplikasi AI, serta cara terbaik menggunakan AI.

Seru. Waktu 5 jam untuk kelas AI terasa kurang banyak. Pertanyaan demi pertanyaan disampaikan para pewarta dengan antusias akan ilmu komputer yang kini bisa membuat pekerjaan jurnalis lebih efektif dan efisien ini.

“Memang ada kekhawatiran akan perkembangan pesat AI. Namun bagi jurnalis saat ini, AI bukan ancaman, tapi bisa membuat media kita lebih baik lagi,” pesan Damar dalam paparannya.

Kegiatan pembelajaran SJI ditutup dengan mata ajar Mencari dan Mengembangkan Berita.

Ketua Bidang Pendidikan PWI Pusat, Dr Suprapto didaulat untuk menjelaskan kepada partisipan.

Suprapto menegaskan bahwa penguasaan teknologi tidak akan menghilangkan prinsip kerja jurnalistik. Namun sebelumnya, wartawan harus melakukan cek dan ricek.

“Sebab, kalau salah dianggap melanggar prinsip-prinsip jurnalistik,” tuturnya.

Dia bilang, perubahan teknologi akan berpengaruh terhadap cara kerja sebagai wartawan. Tetapi prinsip cara kerja tetap sama.

“Berpegang pada prinsip dasar, verifikasi dan konfirmasi,” jelasnya.

Untuk itu, dia meminta para wartawan untuk kembali ke jalan yang benar, berpegang pada prinsip dasar, adaptif pada teknologi.

Raut lagi pena yang sudah tumpul.(*)

  • Penulis Wartawati Sumut, Siti Amelia dari Harian Mimbar Umum. Ia peserta terbaik pertama di SJI kelima di Indonesia dan SJI perdana diselenggarakan di Sumatera Utara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Lainnya

Contact Us