
Dekan FISIP UISU, Samsul Bahri Pane SSos MAP. (Istimewa)
AXIALNEWS.id — [dibaca: eksil nius] — Di era reformasi partisipasi publik pada pemilu legislatif di Indonesia kian membaik. Jika saat ini dikembalikan pada sistem proporsional tertutup, maka demokrasi kembali mundur ke belakang.
Dikatakan Dekan FISIP UISU, Samsul Bahri Pane SSos MAP, Selasa (10/1/2022).
Sistem proporsional tertutup jika ditetapkan pada pemilu legislatif 2024, membuat partisipasi politik diyakini akan turun, karena publik tidak lagi sebagai sabjek politik, tetapi menjadi objek politik. Kader partai yang tidak memiliki hubungan dengan elit politik juga tidak termotivasi untuk ikut menjadi caleg (calon legislatif).
“Hanya kader tertentu yang berpeluang untuk menjadi legislatif. Mereka itu adalah kader yang memiliki hubungan politik lebih dengan elit politik. Legislatif pada sistem proporsional tertutup mengakarnya ke elit politik bukan ke rakyat, seperti jenggot,” imbuhnya.
Menjawab pertanyaan oligarkhi politik elit. Samsul menjelaskan, kewenangan elit partai di sistem proporsional tertutup adalah suatu yang pasti, aspirasi rakyat dikesampingkan. Rakyat diarahkan untuk membeli kucing dalam karung. Karena itulah proporsional tertutup menjadi sumber oligarkhi politik lewat pengaruh elit politik.
Sejatinya kata Samsul, jika proporsional terbuka disebutkan berpotensi “Mony Politik” (politik uang) bukan berarti kita mundur lalu menerapkan proporsional tertutup. Tetapi bisa disesuaikan dengan sistem yang lebih maju dan sesuai budaya politik di Indonesia misalnya dengan sistim distrik, gabungan, dan lainnya.
“Kita jangan memilih sistim yang membuat demokrasi kita mundur,” ungkapnya.
Dikatakannya, kondisi demokrasi dan tingginya partisipasi politik publik pada pemilu pasca reformasi cukup signifikan dan berpotensi mengisi proses demokratisasi yang lebih maju.
Disebabkan peran publik dalam pemilu legislatif tidak hanya sebagai objek politik, tetapi diberi peluang untuk berkontribusi sebagai sabjek politik. Publik diberi ruang untuk menentukan pilihan terhadap calon legislatif yang dinilai memiliki trac record (rekam jejak) yang sesuai dengan aspirasi publik.
Bersamaan dengan hal tersebut, ungkapnya lagi, partai politik membuka diri terhadap publik untuk terlibat langsung sebagai calon legislatif dari partai politik peserta pemilu. Keterlibatan publik untuk menjadi calon legislatif dari partai politik diyakini dapat memotivasi dukungan dan partisipasi politik publik kepada partai politik.
Meski partai politik yang diberi kewenagan mencalonkan anggota legislatif, akan tetapi partai politik wajib membuka diri kepada publik untuk mendapatkan dukungan dan partisipasi politik. Bahkan sistem politik proporsional terbuka yang diterapkan selama ini dimungkinkan bagi publik berperan menentukan pilihan diantara calon yang di usung partai.
Hal positif dari sistem proporsional terbuka tersebut adalah munculnya kader potensi. Kemudian potensi masyarakat untuk menjadi senator juga terbuka lebar dengan sistem proporsional terbuka tersebut. “Publik terbuka peluang ikut daftar sebagai calon legislatif,” katanya.
Hal lain, meningkatnya partisipasi publik menyalurkan aspirasi politik kepada calon legislatif yang terdaftar lewat partai politik. “Inti sistem proporsional terbuka memungkinkan calon legislatif dari partai politik berperan dan ikut serta menciptakan partisipasi politik pada pemilu legislatif,” urainya.(*)
Editor: Eddy S