AXIALNEWS.id | Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Langkat telah usai, namun luka demokrasi yang ditinggalkannya masih terasa pedih.
Tepat pada hari pencoblosan 27 November 2024, hujan lebat mengguyur sebagian besar wilayah Langkat, dan hanya sekitar 48 persen (perkiraan-red) dari 781.832 DPT (daftar pemilih tetap) yang hadir di tempat pemungutan suaranya (TPS).
Namun, bukan hujan yang menjadi perhatian utama, melainkan badai ketidakadilan yang dipertontonkan oleh oknum Aparat Penegak Hukum (APH).
Bukannya menjaga netralitas dan menjadi pelindung demokrasi, sebagian APH justru menjelma menjadi “pemain” yang aktif memenangkan salah satu pasangan calon.
Dengan menggunakan kewenangan dan kekuatan mereka, kuat diduga tekanan dan intimidasi sistematis dilakukan terhadap kepala desa, lurah, dan camat.
Mereka diwajibkan mendukung paslon tertentu dengan ancaman akan diperiksa penggunaan Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD).
Ini bukan lagi pembinaan, melainkan pemaksaan yang mencoreng proses demokrasi.
Lebih memprihatinkan, tekanan ini tidak berhenti di tingkat birokrasi. Aparat desa yang terintimidasi kemudian meneruskan tekanan tersebut kepada masyarakat.
Warga kecil diancam akan kehilangan Program Keluarga Harapan (PKH) dan bantuan sosial lainnya jika tidak memilih pasangan calon yang direstui APH.
Ini adalah penghancuran demokrasi dari akar rumput, di mana rakyat dipaksa memilih bukan berdasarkan nurani, melainkan rasa takut.
Dalam situasi ini, keadilan menjadi barang langka. Jika paslon yang direstui APH melakukan politik uang secara terang-terangan, dianggap lumrah.
Namun, jika paslon lain melakukan hal serupa, langsung dihadapkan dengan operasi tangkap tangan (OTT).
Standar ganda ini adalah wajah buruk dari sebuah demokrasi yang diperkosa oleh mereka yang seharusnya menjadi penjaga keadilan.
Demokrasi bukan hanya tentang memilih, tetapi tentang memastikan proses itu berlangsung bebas dan adil.
Aparat penegak hukum seharusnya menjadi penjamin integritas proses, bukan alat untuk membengkokkan hasil sesuai kepentingan tertentu.
Dugaan keterlibatan APH dalam menekan dan mengintimidasi jelas merupakan pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan mencederai kepercayaan publik.
Jika hal ini dibiarkan tanpa pertanggungjawaban, maka kita tidak hanya kehilangan sebuah Pilkada yang adil, tetapi juga mengubur harapan akan masa depan demokrasi yang sehat.
Sudah saatnya kita bersuara lantang: hentikan intimidasi, tegakkan netralitas. Demokrasi tidak boleh mati di tangan mereka yang seharusnya menjadi pelindungnya.
Kalau seperti inilah faktanya, kalimat “hukum harus ditegakkan, hukum adalah panglima, dan semua sama dimata hukum” memang terdengar hanya sebatas manis di bibir saja.
Janji-janji luhur itu berubah menjadi ironi, ketika mereka yang seharusnya berdiri di garda depan menjaga keadilan justru menjadi pengkhianat demokrasi.
Hujan deras yang mengguyur Langkat di hari pemilihan kemarin seolah menjadi simbol betapa pilunya Ibu Pertiwi menyaksikan pengkhianatan ini.
Hujan itu bukan sekadar fenomena alam, melainkan tangisan dari langit yang menyaksikan bagaimana aparat penegak hukum, yang diharapkan menjadi penjaga moral bangsa, malah terjebak dalam ambisi kekuasaan yang membutakan.
Demokrasi, yang seharusnya menjadi pesta rakyat, kini menjadi arena ketakutan dan tekanan.
Kepala desa, lurah, camat, bahkan rakyat kecil, dipaksa tunduk di bawah bayang-bayang ancaman.
Ancaman yang datang bukan dari penjahat, melainkan dari mereka yang berseragam, yang seharusnya melindungi.
Jika ini terus berlanjut, apa lagi yang bisa kita harapkan? Kepercayaan publik telah dicederai, dan demokrasi kehilangan maknanya.
Kita butuh lebih dari sekadar janji manis; kita butuh tindakan nyata.
Aparat penegak hukum harus kembali pada fungsi sejatinya: menjaga keadilan, bukan memanipulasi demokrasi demi kepentingan segelintir pihak.(*)
Editorial Yong Ganas