
AXIALNEWS.id | Di era kecerdasan buatan (Al) yang semakin pesat, hampir semua aspek kehidupan manusia mulai disentuh oleh teknologi — termasuk urusan spiritual.
Kini, kita bisa menemukan aplikasi yang mengingatkan waktu salat, chatbot yang menjawab pertanyaan agama, hingga sistem Al yang membaca dan menafsirkan Al-Qur’an.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendalam: apakah teknologi benar-benar dapat memahami dan menyentuh sisi spiritual manusia?
Kemajuan teknologi telah mengubah cara umat beragama belajar dan beribadah. Dulu, belajar agama harus bertatap muka dengan guru atau ulama, kini cukup melalui video, podcast, dan aplikasi Al.
Contohnya, banyak umat Islam yang menggunakan aplikasi seperti Muslim Pro atau Quran.com untuk memperdalam ibadahnya. Ini menunjukkan bahwa agama tidak menolak teknologi, tetapi menyesuaikannya dengan nilai-nilai keimanan.
Al membawa banyak kemudahan dalam memahami ajaran agama. Dengan algoritma yang canggih, Al dapat menerjemahkan kitab suci ke berbagai bahasa, mengenali pola tafsir, dan bahkan membantu penghafal Al-Qur’an (hafidz) melalui pelatihan suara.
Teknologi ini membantu generasi muda lebih dekat dengan agama melalui media yang mereka kenal: digital dan interaktif.
Namun, di balik kemudahan tersebut, muncul persoalan etika. Siapa yang bertanggung jawab jika Al salah menafsirkan ayat? Apakah algoritma dapat menggantikan otoritas ulama?
Agama bersifat nilai dan moral, sementara Al hanya bekerja berdasarkan data. Jika tidak diawasi, Al berisiko menghilangkan konteks spiritual yang seharusnya hanya bisa dipahami oleh manusia yang beriman dan berakal.
Al hanya mengenal logika dan pola data, sedangkan iman adalah keyakinan yang melampaui nalar. Di sinilah batas yang tidak bisa ditembus oleh teknologi. Al bisa membantu membaca ayat, tetapi tidak bisa merasakan makna taqwa.
la bisa mengulang doa, tapi tak bisa memahami rasa khusyuk. Maka, walau Al menjadi alat bantu, ia tetap tidak bisa menggantikan pengalaman spiritual manusia.
Ulama dan lembaga keagamaan memiliki peran penting dalam mengarahkan pemanfaatan Al agar tetap sesuai dengan nilai-nilai spiritual. Mereka perlu hadir di ruang digital untuk membimbing umat agar tidak tersesat oleh algoritma.
Justru dengan bimbingan ulama, Al dapat menjadi sarana dakwah yang lebih efektif dan luas jangkauannya tanpa kehilangan substansi keagamaan.
Alih-alih menolak, kita seharusnya menjadikan Al sebagai mitra dalam pengembangan keagamaan. Teknologi bisa membantu menyebarkan pesan kebaikan dan toleransi secara masif.
Namun, manusia tetap harus menjadi pusat spiritualitas. Sebab hanya manusia yang punya hati, dan dari hatilah lahir iman yang sejati.
Kecerdasan buatan memang luar biasa, tetapi spiritualitas adalah ranah yang hanya dapat dijangkau oleh hati manusia. Al bisa meniru ucapan doa, namun tidak bisa merasakan ketenangan setelah doa itu diucapkan.
Maka, tugas kita bukan menolak Al, melainkan memastikan teknologi ini menjadi sarana memperkuat iman, bukan menggantikannya. Agama dan Al dapat berjalan berdampingan — selama manusia tetap menjadi pemegang kendali moral dan spiritual.(*)
Penulis : M Rasyid Zafransyah, Mahasiswa Universitas Tazkia, Bogor.