
AXIALNEWS.id | Dunia sedang tidak baik-baik saja. Kita semua merasakannya. Harga kebutuhan pokok merangkak naik, berita tentang pemutusan hubungan kerja (PHK) terdengar semakin sering, dan para ahli ekonomi di seluruh dunia berbicara tentang ancaman resesi yang nyata.
Di tengah badai ketidakpastian ini, para pemimpin perusahaan dipaksa berpikir keras: bagaimana caranya agar kapal bisnis kita tidak ikut karam?
Selama ini, banyak perusahaan berjalan di atas sistem keuangan konvensional yang sangat bergantung pada utang dan bunga. Model ini terlihat baik-baik saja saat ekonomi stabil.
Namun, ketika krisis datang dan bank sentral menaikkan suku bunga untuk meredam inflasi, utang yang tadinya terasa ringan tiba-tiba berubah menjadi beban raksasa yang bisa menenggelamkan.
Di sinilah kita perlu berhenti sejenak dan bertanya: adakah cara yang lebih aman? Jawabannya ada, dan mungkin lebih dekat dari yang kita duga. Inilah saatnya melirik keuangan syariah, bukan sebagai alternatif eksklusif, melainkan sebagai sebuah “jaring pengaman” yang logis dan teruji oleh waktu.
Untuk memahami mengapa keuangan syariah menawarkan stabilitas, kita perlu melihat perbedaan mendasarnya dengan sistem konvensional. Sistem berbasis bunga pada dasarnya adalah hubungan antara pemberi pinjaman dan peminjam.
Apapun yang terjadi pada bisnis Anda—entah itu untung besar atau rugi total—Anda tetap wajib membayar pokok dan bunga pinjaman. Ini menciptakan risiko yang sangat besar di pihak pengusaha.
Keuangan syariah membalik logika ini. Alih-alih meminjamkan uang, sistem syariah mendorong kemitraan (musyarakah) atau investasi bagi hasil (mudharabah). Dalam skema ini, hubungan yang tercipta adalah antara investor dan pengelola usaha.
Bayangkan Anda butuh dana untuk mengembangkan bisnis. Dalam sistem syariah, investor akan memberikan modal untuk kemudian berbagi keuntungan sesuai kesepakatan. Jika bisnis untung, keuntungan dibagi bersama. Namun, jika bisnis menghadapi kerugian, risiko itu juga ditanggung bersama. Semangatnya adalah gotong royong, bukan eksploitasi.
Seperti yang diungkapkan oleh Adiwarman Karim, seorang pakar ekonomi syariah terkemuka di Indonesia, “Keuangan syariah menuntut adanya keterkaitan langsung dengan sektor riil. Uang tidak boleh menghasilkan uang begitu saja; ia harus bekerja melalui perdagangan dan investasi yang nyata. Inilah yang membuatnya lebih stabil dan membumi.”
Kutipan ini menegaskan bahwa dana dalam sistem syariah tidak dibiarkan berputar di dunia spekulasi yang maya, melainkan harus menjadi motor penggerak ekonomi yang produktif dan bermanfaat bagi masyarakat.
Lalu, apa dampak praktisnya bagi perusahaan di tengah kondisi saat ini?
Tanpa adanya kewajiban membayar bunga yang bisa melonjak kapan saja, perusahaan bisa bernapas lebih lega. Arus kas menjadi lebih sehat karena pengeluaran terbesar (pembayaran utang bunga) digantikan oleh pembagian profit yang fleksibel. Jika profit sedang turun, maka porsi yang dibagikan pun ikut turun.
Ketika manajemen tidak lagi pusing memikirkan cara membayar cicilan utang yang membengkak, energi dan sumber daya perusahaan bisa dialihkan untuk hal yang lebih strategis: inovasi produk, efisiensi operasional, dan peningkatan layanan kepada pelanggan.
Karena risiko ditanggung bersama mitra atau investor, perusahaan didorong untuk membuat keputusan bisnis yang lebih hati-hati dan terukur, bukan keputusan spekulatif yang berisiko tinggi.
Tujuan akhir dari penerapan manajemen keuangan syariah bukanlah sekadar untuk bertahan dari krisis. Goals utamanya adalah untuk mencapai falah, yaitu kesejahteraan yang menyeluruh dan berkelanjutan.
Ini adalah sebuah sistem yang dirancang untuk menciptakan keadilan (‘adalah), di mana kekayaan tidak menumpuk di segelintir orang, melainkan berputar dan memberikan manfaat bagi banyak pihak.
Ini bukan lagi sebuah konsep idealis, melainkan sebuah kebutuhan mendesak. Krisis ekonomi, ketimpangan sosial, dan kerusakan lingkungan yang kita saksikan hari ini adalah bukti bahwa model bisnis yang hanya mengejar profit jangka pendek dengan cara apapun sudah tidak lagi relevan.
Berani mengambil momentum, karena risis saat ini adalah sebuah momentum. Momentum bagi para pemilik bisnis, CEO, dan manajer keuangan untuk melakukan refleksi. Sudah saatnya kita tidak hanya bertanya “bagaimana cara mendapatkan keuntungan terbesar?”, tetapi mulai bertanya “bagaimana cara membangun bisnis yang kuat, adil, dan berkelanjutan?”.
Mempelajari dan mengadopsi prinsip-prinsip keuangan syariah bukanlah langkah mundur ke masa lalu. Sebaliknya, ini adalah sebuah lompatan cerdas menuju masa depan.
Sebuah masa depan di mana bisnis tidak hanya menjadi mesin pencetak uang, tetapi juga menjadi agen kebaikan yang membawa stabilitas bagi perusahaan, keamanan bagi karyawan, dan kesejahteraan bagi masyarakat. Pertanyaannya bukan lagi “mengapa?”, tetapi “kapan kita akan memulainya?”
Penulis : Haikal Al Amin, Mahasiswa Universitas Tazkia, Bogor.
Haha, akhirnya bunga yang jadi monster krisis bisa diatasi dengan gotong royong syariah! Tapi sayang, kapan saya bisa cari investor yang giat gotong royong untuk usaha kue saya kalau rugi aja dia turun pusing? Jadi, falah itu kan lebih import daripada profit nggak? Waktunya subuhin dulu strategi bisnis dengan keadilan ya, biar bisnis ini jadi motor penggerak sekaligus agen kebaikan yang gak pusingin cicilan! 🤣Free Nano Banana