
AXIALNEWS.id | Kalau dulu investasi dianggap urusan orang tua atau mereka yang sudah mapan, sekarang gen Z jadi bintang utamanya. Data OJK menyebutkan bahwa lebih dari 57 persen investor ritel di pasar modal adalah gen Z.
Tapi di saat yang sama, hampir 73% gen Z ragu terhadap rencana keuangan jangka panjang dikarenakan gaya hidup konsumeristik dan seringnya fenomena fear of missing out (FOMO).
Situasi ini menarik untuk dilihat investasi dan konsumsi yang keduanya digerakkan oleh media sosial. Mana yang jadi lebih dominan?
Isunya muncul ketika investasi dan konsumsi keren menjadi dua kutub yang kadang tidak bisa dilepas antara satu sama lain.
Gen Z sekarang bukan cuma berpikir “Bagaimana uangku berkembang?” tapi juga “Apa yang bisa aku pamerin di medsos?”.
Mode, aksesori, konten estetik, semua ini jadi bagian identitas mereka. Tapi realitanya, pengeluaran ini kadang lebih dulu dari pendapatan yang bikin tekanan keuangan di masa depan.
Di sisi lain literasi finansial belum merata, hanya sekitar sepertiga Gen Z yang benar-benar memahami dasar investasi seperti saham atau reksa dana.
Dan disini ada beberapa analisis dan argumentasi dari media Kemenkeu, yaitu:
Gen Z sekarang sudah paham bahwa investasi bukan sekadar alternatif, tapi keharusan. Banyak yang mulai dari nominal kecil lewat aplikasi digital. Mereka tertarik ke saham, reksa dana, aset digital karena kemudahan akses & informasi yang cepat.
Konsumsi sekarang bukan cuma soal fungsi, tapi juga bagaimana tampilannya di media sosial. Padahal bisa jadi barangnya tidak selalu dibutuhkan. Influencer, iklan di TikTok atau Instagram, dan trend viral menjadi pemicu besar.
Karena banyak memakai layanan Buy Now Pay Later (BNPL) dan kredit mudah, ada risiko pengeluaran impulsif dan hutang kecil yang numpuk. MSM (Magister Sains Manajemen) keuangan seperti OJK sudah mulai mengingatkan soal ini.
Banyak gen Z yang tidak hanya mencari cuan, tapi juga ingin investasinya ada dampak sosial atau etika. Produk ESG (Environmental, Social, Governance) dan reksa dana hijau semakin disorot.
Berdasarkan berbagai kasus yang telah dibahas, saya ingin mengajak untuk bersama-sama mencari solusi melalui pendekatan yang berfokus pada tiga pilar utama, yaitu:
Tidak hanya teori di kelas, tapi workshop nyata dan konten online yang relate dengan kehidupan gen Z supaya tidak hanya tahu “Apa itu saham?”, tetapi juga “Bagaimana cara memilih saham yang aman untuk para pemula?”.
Pemerintah dan OJK perlu mempertegas aturan soal pinjaman digital dan BNPL, agar tidak ada jebakan hutang. Platform fintech (financial technology) harus transparan dan memiliki edukasi risiko.
Jika investasi cuma sesekali, manfaatnya masih terbatas. Gen Z butuh komunitas yang saling support, berbagi pengalaman dan kegagalan, tidak hanya soal unggul di feed medsos.
Gen Z sekarang hidup di ujung persimpangan antara investasi, konsumsi, identitas media sosial. Mereka tidak hanya memiliki potensi besar untuk membangun masa depan finansial yang mumpuni, tapi juga menghadapi godaan konsumtif yang tidak kalah besar.
Saya yakin, kalau generasi ini mampu menyusun strategi finansial yang realistis, bijak konsumsi, dan tetap paham risiko, bukan hanya masa depan yang aman yang bisa diraih, tapi juga kehidupan yang bermakna, bukan hanya tampilannya saja.(*)
Penulis : Harits, Mahasiswa Universitas Tazkia, Bogor.